Dengan latar belakang bukan untuk kepentingan DPD RI saja, tetapi lebih luas dari itu; yaitu untuk kepentingan agar bangsa dan negara ini dapat mempercepat mewujudkan cita-cita dan tujuan lahirnya negara ini. Maka DPD RI mengusulkan 5 proposal untuk perbaikan sistem berbangsa dan negara, yang kini dinilai tidak sesuai dengan cita-cita pendiri bangsa ini.
"Apalagi Indonesia akan menghadapi tantangan masa depan yang lebih kompleks akibat perubahan situasi global. Ikhtiar ketiga ini juga untuk menjawab hasil temuan dan aspirasi yang kami dapat di 34 Provinsi dan hampir di seluruh Kabupaten dan Kota di Indonesia, dimana persoalan yang dihadapi daerah dapat disimpulkan sama. Yaitu; Ketidakadilan yang dirasakan masyarakat di daerah, dan kemiskinan struktural yang sulit dientaskan," demikian Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti.
Hal itu disampaikan LaNyalla dalam acara presgathering DPD RI dengan Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) di Cirebon Jawa Barat, Kamis (21/9/2023) malam. Hadir Wakil Ketua DPD RI Mahyudin, anggota DPD RI Fachrul Rozi, Bustami Zainudin, Sekjen DPD RI Rahman Hadi dan jajarannya, Kabag Humas MPR RI Hj Siti Fauziah, Ketua KWP Ariawan dan lain-lain.
Menurut LaNyalla setelah DPD RI telaah, akar persoalannya adalah Konstitusi hasil Perubahan di tahun 1999 hingga 2002 silam menyisakan masalah yang sangat fundamental. "Hal ini juga sesuai dengan temuan Komisi Konstitusi yang dibentuk MPR pada tahun 2002, dan hasil kajian akademik Pusat Studi Pancasila di UGM," ujarnya.
Yaitu; Undang-Undang Dasar (UUD) hasil Amandemen tersebut telah meninggalkan Pancasila sebagai Norma Hukum Tertinggi dan meninggalkan Pancasila sebagai Identitas Konstitusi. Inilah kata LaNyalla, persoalan sebenarnya, yang membuat bangsa dan negara ini semakin individualis dan ekonominya semakin kapitalis, sehingga jurang ketimpangan semakin tinggi.
Jalan keluarnya lanjut LaNyalla, tentu harus kembali kepada Pancasila, karena bangsa ini nyatanya masih bersepakat bahwa Pancasila adalah Falsafah Dasar bangsa dan negara ini.
Bagaimana wujud dari kembali kepada Pancasila itu? Tentu kata LaNyalla, dengan mengembalikan Konstitusi Negara ini kepada rumusan para pendiri bangsa. Sistem bernegara yang dirumuskan para pendiri bangsa, jelas secara terang benderang berasaskan Pancasila. Sehingga Sistem Bernegara yang dipilih adalah Sistem MPR RI sebagai penjelmaan seluruh komponen bangsa. Sehingga kedaulatan rakyat secara utuh berada di Lembaga Tertinggi Negara ini.
Dikatakan, para pendiri bangsa sama sekali tidak mengadopsi sistem barat. Meskipun teori-teori Penguatan Presidensial dan Trias Politica (eksekitif, legislatif dan yudikatif) terus dikampanyekan sebagai sistem terbaik dalam demokrasi. Karena pendiri bangsa sudah membahas secara tuntas, bahwa Demokrasi Pancasila, sebagai Sistem Tersendiri, adalah sistem yang paling sesuai dengan negara Super Majemuk seperti Indonesia. Negara kepulauan yang jarak bentangnya sama dengan beberapa negara di Eropa.
"Atas kesadaran itu, kami di DPD RI membahas, hasil temuan dan aspirasi yang kami terima, sehingga kami pada akhirnya bersepakat untuk menawarkan gagasan perbaikan Indonesia, demi Indonesia yang lebih kuat, yang lebih bermartabat, yang lebih berdaulat dengan cara kembali menerapkan sistem bernegara sesuai rumusan pendiri bangsa. Kami juga menyadari, bahwa terdapat kelemahan di dalam sistem tersebut. Karena sistem tersebut dilahirkan dalam suasana yang mendesak dan revolusioner pada saat itu," jelasnya.
Oleh sebab itu kata LaNyalla, pihaknya menawarkan penyempurnaan dan penguatan sistem tersebut. Bukan penggantian sistem bernegara, seperti yang terjadi di dalam Amandemen tahun 1999 hingga 2002. Sehingga, Proposal Kenegaraan DPD RI berbunyi; "Kita tidak membuka ruang untuk penyinpangan praktek dari nilai-nilai seperti pernah terjadi di era Orde Lama dan Orde Baru."
Selain mengadopsi apa yang menjadi tuntutan reformasi, tentang pembatasan masa jabatan presiden dan menghapus KKN serta penegakan hukum dan HAM, ke-5 proposal penyempurnaan dan penguatan azas dan sistem bernegara Pancasila yang DPD RI tawarkan tersebut adalah:
1). Mengembalikan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara, sebagai sebuah sistem demokrasi yang lengkap dan berkecukupan, yang tidak hanya di-isi oleh mereka yang dipilih melalui pemilu, tetapi juga di-isi oleh utusan-utusan komponen masyarakat secara utuh, tanpa ada yang ditinggalkan.
2). Membuka peluang anggota DPR berasal dari peserta pemilu unsur perseorangan atau non-partisan. Sehingga anggota DPR tidak hanya di- isi dari peserta pemilu dari unsur anggota partai politik saja. Hal ini sebagai bagian dari memastikan bahwa proses pembentukan Undang- Undang yang dilakukan DPR bersama Presiden, tidak didominasi oleh keterwakilan partai politik saja. Tapi juga secara utuh dibahas juga oleh perwakilan penduduk daerah yang berbasis provinsi. Sehingga anggota DPD RI, yang juga dipilih melalui Pemilu Legislatif, berada di dalam satu kamar di DPR RI, sebagai bagian dari pembentuk Undang-Undang.
3). Memastikan Utusan Daerah dan Utusan Golongan diisi melalui mekanisme utusan dari bawah. Bukan ditunjuk oleh presiden, atau dipilih DPRD seperti yang terjadi di Era Orde Baru. Dengan komposisi Utusan Daerah yang berbasis sejarah Negara-negara lama dan Bangsa-bangsa lama di kepulauan Nusantara, yaitu raja dan sultan Nusantara, serta suku dan penduduk asli Nusantara. Dan Utusan Golongan yang bersumber dari Organisasi Sosial Masyarakat dan Organisasi Profesi yang memiliki sejarah dan bobot kontribusi bagi pemajuan Ideologi, Ekonomi, Sosial, Budaya, Pertahanan Keamanan dan Agama bagi Indonesia.
4). Memberikan wewenang untuk pemberian pendapat kepada Utusan Daerah dan Utusan Golongan terhadap materi Rancangan Undang- Undang yang dibentuk oleh DPR dan Presiden, sehingga terjadi mekanisme keterlibatan publik yang utuh dalam pembahasan Undang- Undang di DPR.
5). Menempatkan secara tepat tugas, peran dan fungsi Lembaga Negara yang sudah dibentuk atau sudah ada di era Reformasi, seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial dengan tolok ukur penguatan sistem Demokrasi Pancasila.
Itulah 5 proposal yang kami tawarkan berdasarkan hasil serap aspirasi kami di seluruh penjuru tanah air.
Khusus terhadap Proposal kedua, dimana Kamar DPR RI, sebagai pembentuk Undang-Undang agar dibuka peluang bagi peserta pemilu dari Unsur Perseorangan, sebenarnya bukan gagasan baru.
Dunia Internasional juga sudah melakukan hal itu. Termasuk 12 Negara di Eropa dan yang terbaru adalah Afrika Selatan, yang membuka pintu kamar DPR tidak hanya dari unsur peserta pemilu dari anggota Partai Politik saja. Tetapi juga perseorangan berbasis wilayah atau provinsi.
Sehingga Undang-Undang yang dihasilkan, yang mengikat secara hukum kepada seluruh warga negara tidak hanya dibuat oleh keterwakilan partai politik saja. Tetapi juga oleh keterwakilan masyarakat non-partisan atau people representative.
Karena faktanya di Indonesia, anggota DPR dari partai politik dalam mengambil keputusan masih sangat didominasi oleh arahan Ketua Umum Partai. Sehingga sangat tidak adil, bila penduduk Indonesia yang berjumlah 275 juta jiwa ini menyerahkan kepatuhan hukum atas Undang- Undang yang dibentuk atas arahan Ketua Umum Partai yang mempunyai anggota di DPR.
Itulah mengapa kata LaNyalla, anggota DPD RI, yang juga peserta pemilu dari unsur perseorangan yang berbasis Provinsi secara merata, harus berada di dalam Kamar DPR RI, sebagai bagian dari mekanisme check and balances yang utuh. Sekaligus sebagai bagian dari suara provinsi dari Sabang sampai Merauke. Dari Miangas sampai Rote.
Hal ini menurut LaNyalla, berbeda dengan Utusan Daerah di MPR. Karena Utusan Daerah di MPR bukan pembentuk Undang-Undang. Dan mereka harus di-isi dengan mekanisme utusan, bukan Pemilu, dengan latar belakang atau basis unsur dari Bangsa-Bangsa Lama dan Negara-Negara Lama yang sudah ada di Nusantara ini sebelum Indonesia merdeka.
Yaitu penerus Raja dan Sultan Nusantara serta Masyarakat Adat dan Penduduk Asli Nusantara.
Inilah gambaran yang perlu saya sampaikan. Yang nantinya akan diperjelas dalam dialog bersama para Pimpinan DPD RI.
"Sebelum saya akhiri, yang terpenting adalah, kita semua harus membangun kesadaran kolektif bahwa Indonesia punya pekerjaan besar. Untuk mewujudkan saluran dan sarana untuk membangun cita-cita bersama kita. Dalam sebuah ikatan yang mampu menyatukan. Mampu memberikan rasa keadilan. Dan mampu menjawab tantangan masa depan melalui jati diri bangsa ini," katanya.
"Kita semua harus mendorong MPR dan semua Lembaga Negara serta institusi TNI dan Polri, termasuk organisasi-organisasi masyarakat serta keagamaan dan partai-partai politik, untuk bersama-sama membangun Konsensus Nasional guna mewujudkan hal tersebut," lanjutnya.
"Sehingga bangsa ini kembali ke Fitra Negara Pancasila dengan jalan kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945, untuk kemudian secara bersama kita lakukan Amandemen dengan Teknik Adendum," jelasnya. Di sinilah peran penting para wartawan untuk meresonansikan gagasan demi Indonesia yang lebih baik ini kepada seluruh elemen bangsa," pungkasnya.
Menyinggung peran DPD RI, Mahyudin menegaskan seharusmya sama dengan DPR RI sebagai pembentuk UU. Sehingga kalau UU itu misalnya tidak sesuai dengan kepentingan daerah, maka DPD RI bisa melakukan legislasi review, menolak UU tersebut.
"Sedangkan untuk proposal DPR RI perorangan bukan berarti membubarkan DPD RI, tapi setiap orang yang dinilai mampu, berkualitas, integritas, memiliki ide, gahasan, nasionaliame dan berkomitmen untuk perbaikan bangsa ini, yang tidak bisa nyaleg dari parpol bisa maju melalui perorangan. Termasuk para wartawan," ungkapnya.
Sumber : https://www.suarapemredkalbar.com/read/potret/06112023/untuk-perbaikan-sistem-berbangsa-dpd-ri-ajukan-5-proposal-kenegaraan